soegiantohartono.blogspot.com

Minggu, 28 November 2010

Menekuni Hobi Sebagai Lahan Pekerjaan



Lulus dari perguruan tinggi, belum tentu menjamin mahasiswa memperoleh pekerjaan yang layak sesuai denga jurusan. Terkadang ada yang mengangur bertahun-tahun, mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keilmuannya, dan parahnya, menggunakan cara “pintas”. Asalkan  bisa menghasilkan.
Padahal, jika kita perhatikan.  Setiap Mahasiswa memiliki kelebihan berupa hobi. Nah, dengan hobi yang dimiliki sekiranya bisa dialih fungsikan agar bisa memproduksi pekerjaan  dan tidak menutup kemungkinan,  jika ditekuni dan terus mengelola hobi yang dimiliki, tentu akan berbuah manis . Tanpa harus berorientasi pada pekerjaan konvensional maupun PNS. Telah banyak cerita sukses yang dimulai oleh para penekun hobi. Meskipun bagi sebagaian orang, mungkin hal tersebut dipandang sebelah mata. Namun fakta telah  membuktikan.
Untuk itu mulailah kenali hobi diri sendiri dan maksimalkan.  Asal  ada kemamuan pasti ada jalan. Misalnya saja memiliki hobi browsing internet bisa memanfaatkannya menjadi  bisnis online, berwirausaha, menulis,  ataupun yang lainya, sesuai dengan hobi masing-masing. Selamat mencoba! 

Tags: Mahasiswa, Pekerjaan, Hobi, PNS

Selasa, 23 November 2010

Nasib Malang TKI


  Kisah  memilukan di negeri ini ternyata tiada akhirnya. Seakan tak habis-habisnya bangsa ini diterjang permasalahan. Dari tindak pidana korupsi, mafia hukum,makelar kasus, bencana alam, kemiskinan, konflik horizontal, rendahnya pendidikan, dan muncul lagi permasalah klasik yang belum terselesaikan. Ya, penganiayaan TKI/TKW yang terjadi di Arab Saudi. Menjadi  agenda  pemberitaan media beberapa miggu ini, bahkan tak terhenti sedikit pun dari jalan cerita yang begitu runtut untuk memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia, mengenai keadaan warga kita menjadi korban kekerasan dibatas ambang kemanusiaan.
Terlahir menjadi  seorang tenaga kerja alias buruh, tentunya bukan sebuah pilihan yang diinginkan oleh siapapun. Memiliki pekerjaan yang layak dan menjamin masa depan, adalah harapan dan cita-cita siapapun dewasa ini. Ketika lapangan kerja terbatas, di tambah lagi   kebutuhan hidup yang begitu kompleks, mau tidak mau mengharus kan untuk masyarakat bekerja ekstra. Apalagi dengan latar belakan pendidikan yang tidak mumpuni. Maka  alternatif lain pun ditempuh sebagai solusi. Seperti  menjadi seorang tenaga kerja di negeri orang.
Tragis memang. Setidaknya itu menjadi suratan takdir para tenaga kerja yang menjajakan jasa sebagian besar menjadi pembantu rumah tangga. Penganiayaan yang dialami di luar negeri seperti Sumiyati, buruh migran asal Dompu, Nusa Tenggara Barat, mulutnya digunting oleh majikan di Arab Saudi—adalah contoh kongket untuk kesekian kali terjadi pada perempuan Indonesia yang bekerja di negeri sebrang sana. Keabnormalan  tersebut bukan hanya sekali terjadi, bahkan berkali-kali terjadi di tempat  para pahlawan devisa tersebut mengais rezeki untuk keluarga dan bangsa ini. Tak pelak, keluarga korban pun gerah dan menuntut agar majikan yang  melakukan tindak kekerasan tersebut dihukum seberat-beratnya , sesuai dengan regulasi yang berlaku.
            Namun suara sumbang dari warga kelas bawah, seperti keluarga Sumiyati, tak bakalan sampai di negeri jiran sana. Apalagi, dari keluarga dengan latar belakang ekonomi terbatas. Meskipun sumpah serapah dilayangkan beratus kali. Saat ini, untuk “membeli” keadilan dan hukum dibutuhkan dana yang cukup.  Bagaiamana dengan keadilan yang ingin didapat  oleh Sumiyati, yang harus menelan kepahitan sebagai tenaga kerja. Kisah  Sumiyati pun akan menjadi pelengkap kekerasan TKW yang terjadi sebelumnya. Dimana tidak mendapatkan perlindungan ekstra dari negara sendiri.   Memprihatinkan memang. Disatu sisi tugas negara dalam menjamin warga terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak, adalah hal pokok dan mendasar.
Kasus demi kasus yang melampaui batas perikemanusiaan atas tenaga kerja Indonesia , khususnya di di Arab Saudi dengan jumlah TKI terbanyak mencapai 960.000 orang. Jumlah  kasus 22.035(Sumber:BNP2TKI,2008). Pelanggaran hak asasi manusia(HAM)  yang tak mengenal rasa kemanusiaan tersebut , sesungguhnya menjadi pembelajaran bagi pemangku kekuasan dinegeri ini dalam menyikapinya. Namun sayangnya pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman, sehingga warga negara sendiri pun harus menjadi korban kebiadapan para majikan TKI/TKW ,dimana  mencari nafkah.
Sikap Pemerintah
 Peran negara dalam meningkatkan taraf hidup warga Negara Indonesia yang telah termaktub dalam UUD 1945  yang menyebutkan, “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak  bagi kemanusiaan”.
Sangat berbanding terbalik dengan amanat konstitusi  diatas. Jangankan pekerjaan yang layak, perlindunhgan khusus untuk warga negara khususnya para TKI/TKW pun begitu mengambang di permukaan. Para TKI seakan menjdi sapi perahaan , untuk menimbun tabungan sehingga lekas bisa membayar hutang-piutang negeri ini. Namun apa kontribusi Negara khususnya penggerak Negara(Pemerintah) dalam menyikapi hal tersebut? Kemungkinan besar adalah dengan jalan diplomasi. Yang menjadi “andalan” pemerintah dalam meredakan situasi khususnya para keluarga korban. Sehingga terlihat pemerintah serius dalam menangani tindak kekerasan tersebut . Harapan kita semua agar sesegera mungkin  pemerintah mengambil sikap tegas. Jangan  menjadi penakut, dan takluk kepada negara  “bersangkutan” yang telah meludahi jiwa kemanusiaan  Indonesia.
Tentunya pemerintah tak boleh meringankan permasalahn ini. Cukup sudah bangsa ini dihina dan dianggap lemah. Kalau pemerintah masih ‘melempem” , maka bersiap-siaplah untuk menikmati kejadian yang tidak mengenakkan dikemudian hari. Sikap kongret harus secepatnya dilaksanakan oleh pimpinan negara ini. Sehingga masalah klasik TKI tidak lagi menghiasi derita rakyat Indonesia. Selain itu pula yang menjadi PR pemerintah sebagai pemangku kekuasaan, agar secepat mungkin merapatkan barisan untuk mencari solusi yang terbaik.

Tags: Tenaga kerja Indonesia, Pemerintah, Arab Saudi,pendidikan, kemiskinan,

Jumat, 19 November 2010

Belajar Berdemokrasi


Foto:Aksi mahasiswa di depan gedung DPRD Bali
Menyandang status sebagai mahasisiwa tentu merupakan bukan sebuah kebetulan. Status orang terpelajar/intelek, yang memiliki pola pikir progresif dan tidak hanya peka terhadap hal-hal yang besar  namun  peduli jyga  terhadap  hal yang sangat kecil.
Gaung mahasiswa, khususnya diindonesia tentu memiliki pergerakan tersendiri dalam bingkai sejarah yang telah terukir. Tumbangnya rezim orede baru adalah bukti kongket kekuatan massif mahasiswa yang terpadu. Semenjak itu, mahasisiwa lebih memiliki branding dimata rakyat Indonesia.
Memasuki dunia reformasi sampai demokrasi  saat ini, tentu telah menjadi catatan tersendiri di  bumi pertiwi  yang telah merdeka selama 65 tahun. Namun, tidak begitu dengan prilaku seorang agen perubahan dengan dedikasi  tinggi dan berkarakter saat ini.
Tudingan bahkan cap negatif, mengenai sisi buruk mahasiswa yang selalu melakukan aksi  “nakal”-nya acapkali meludahi sejarah terdahulu mengenai citra mahasiswa yang identik sebagai “dewa penolong” bagi kaum  lemah. Itu tercermin dari demonstarsi yang dilakukan belakangan ini. Anarkis dan kriminalistis.
Menjadi sorotan publik. Pola tingkah mahasiswa yang berujung pada luapan emosi dalam menyampaikan pendapat di hadapan ruang terbuka, bahkan samapi harus merusak simbol dan inventaris Negara. Ironis memang. Energi demokrasi negeri ini telah meluap, sehingga ledakannya mempengaruhi tempramental mahasiswa yang mengatas namakan agen  perubah tersebut.
Memang bagi sebagaian mahasiswa,  terkadang pandangan yang disampaikan ke legislatif maupun eksekutif tak banyak ditanggapi secara holistik. Meskipun beragam pernyataan sikap, bahkan petisi yang dilontarkan untuk  berbenah. Namun tidak adanya feedback secara langsung, sehingga hawa “gerah” pun semakin meninggi. 
Untuk itu  ada jalan pintas yang digunakan mahasiswa untuk  mencari perhatian dari pemerintah.  Mahasiswa pun mendayakan “cara lain” yang lebih sensitif, dimana bisa  memberikan getaran shockterapy bagi pemerintah. Hasilnya pun bisa kita saksikan saat ini. Aksi gila-gilaan yang dipertontonka tergolong ekstrim pun menjadi hal yang tidak tabu lagi,  sehingga para wakil rakyat di senayan bahakn pemimpin dinegeri ini pun, semakin kewalahan menyikapi ihwal tersebut.
Namun adakah cara lain, untuk mencari perhatian pemerintah tanpa harus melakukan aksi anarkis yang hanya merugikan kita semua?  Tentunya banyak jalan menuju roma. Sebagai Negara demokrasi, seharisnya mahasiswa mulai mengimplemenrasikan ilmu-ilmu yang didapat di kampus. Agar lebih bijak dalam menyampaikan pandangan tanpa harus bersikap apatis dan ricuh. Dengan  mempelajari arti demokrasi seutuhnya.

Rabu, 17 November 2010

Peduli Korban Bencana Alam, Mahasiswa dan Musisi “ngamen”

Vokalis Nanaoe Biroe dan mahasiswa "ngamen" untuk korban bencana
 
Ketika alam mulai murka, dan enggan lagi untuk bersahabat  maka manusia pun menjadi musuh terbesarnya. Gejala dan tanda-tanda alam pun muncul, untuk menggangu aktivitas manusia. Setidaknya itulah yang menjadi kisah terburam diakhir tahun 2010 ini, yang melanda Indonesia. Ditiga titik wilayah yang berbeda yaitu Wasior, Mentawai, Sleman.
Bencana alam yang menimpa  saat ini begitu memilukan. Berbagai bantuan yang telah terluncur ketiga titik bencana, namun sampai sekarang belum bisa mengubah keadaan. Meskipun kebutuhan sandang, pangan  dan papan jauh dari kata  zona cukup, namun usaha dari seluruh elemen  masyarakat  untuk membantu terus berlanjut.
Begitupun yang dilakukan musisi di Bali dan  Mahasiswa yang peduli dengan bencana alam. Sebagai bentuk dari keprihatinan. Kegiatan  yang dilakukan musisi dan mahasiswa ini cukup terbilang  unik. ‘Ngamen’. Meskipun pekerjaaan tersebut terbilang ‘memalukan’ sekalipun harus menambah rasa percaya diri yang ekstra. Namun tidak menyurutkan semangat mereka, untuk  tetap mengumpulkan bantuan  para  korban bencana yang telah ada di barak pengungsian sana.
Kegitan yang dimulai sekitar pukul 17.00 wita pada hari Sabtu(6/11) mengambil lokasi  di sekitaran Renon, sambil menggunakan peralatan musik seadanya. Bahkan Ada juga, yang memisahkan diri dengan membentuk kelompok dan beregu  dengan membawa kardus yang bersikan tulisan”pundi amal untuk korban bencana alam di Wasior, Mentawai dan Sleman”. umbul-umbul   pelengkap pun digotong untuk mengenalkan identitas.
Setidaknya memberikan hiburan tersendiri bagi warga yang melintas maupun sedang berlibur, namun tidak lepas dari balasan terimakasih,  berupa lembaran rupiah yang disishkan Atas hiburan tersebut, dimana nantinya bisa diserahkan kepada para korban bencana . “Bantuannya bu, untuk saudara –saudara kita di merapi “ lirih Iwan mahasiswa IHDN yang juga merupakan relawan KSR PMI DB, disela-sela warga melintasi satuan ngamen mereka.
Namun respon masyarakat yang lewat cukup beragam, ada yang hanya mengumbar senyum sambil melambaikan tangan, bahkan  ada mengatakan tidak mebawa uang dan juga sudah menyumbangkan melalui LSM. Parahnya, ada yang berpura –pura dalam ketidaktahuan nya terhadap bencana yang terjadi. Ngamen pun dilanjutkan samapi kejalan-jalan. Disekitaran jalan raya mendekati lampu merah,disamping Bank BPD Bali.
Sambil  menunggu hadirnya lampu lalu lintas  berwarna merah, yel-yel bahkan nyayian khusus untuk para korban bencana pun digumamnkan, penuh dengan nada-nada lirih. Menunggu warna merah bersinar, pasukan pengamen pun turun, dengan sumbang-sumbang suara untuk membantu para korban bencana alam. Meskipun bersifat spontan, untuk warga yang melintas dijalan, namun perhatian warga terbilang cukup.
Sorenya , dilanjutkan pada lokasi yang berbeda yaitu di sekitaran pantai Sanur. kegiatan pemungutan pundi amal yang dipimpin Made Murdita yang sekaligus Vokalis band Nanoe Biroe itu  menyatakan bahwa,  keprihatinnya sebagai musisi terhadap situasi yang menimpa para korban bencana alam, dan meminta kepada pengguna jalan untuk sedianya menyisihkan uang yang dimiliki. “ Saudara-saudara mohon bantuannya untuk mereka yang terkena musibah”, imbunya dengan suara serak dan lantang.
Selain itu dari pihak mahasiswa pun tak kalah gemuruhnya mengumandangkan lagu-lagu kemanusian untuk menarik simpati   warga yang lalu lalang.  Mereka  berusaha merayu-rayu warga yang lewat. “Bantuannya pak, bu untuk saudara-saudara kita yang terkena bencana”, lirih salah satu mahasiswa .
Kegiatan yang dilakukan selama seminggu penuh dari 6-13/11/2010 tersebut, terbilang cukup melelahkan, namun hal tersebut diacuhkan, dibandingkan dengan kesedihan para korban bencana. Dengan Melibatkan Musisi Kis dan Nanoe Biroe, serta dari Pihak mahasiswa yaitu   Bem IHDN Denpasar, PMI KSR DB IHDN, Stikes, UNHI, KMHDI, PMI daerah  Bali dan Warung Mina Renon  sebagai fasilitator  untuk posko pengumpulan bantuan baik berupa uang maupun barang yang bisa dimanfaatkan.
Puncak dari hasil ngamen yang dilakukan selama seminggu pun menuai hasil, dana yang terkumpul untuk para korban bencana alam mencapai Rp 30.816.260. Bukan hanya bentuk materi, dalam bentuk non materi pun ada seperti pakaian, selimut masker, obat-obatan  dan peralatan makan.
 Acara penutupan yang bertepatan pada malam Minggu(13/11/2010)sekaligus penyerahan hasil ngamen melalui sekertaris PMI daerah Bali secara simbolis. Acara penutupan yang dilakukan di warung  mina, dimeriahkan dengan aksi panggung beberapa Band diantaranya Kis, di Ubud band, Kleopatra, G-Star, dan Balki Band. Untuk menghibur para relawan “dadakan” tersebut

Sabtu, 13 November 2010

Perda RTRW Versus Investor


Babak menegangkan mengenai perda RTRW (Rancangan Tata Ruang Wilayah) kini sedang memasuki proses hukum di Mahkamah Agung(MA). Lantaran merugikan beberapa investor asing yang memiliki lahan didekat kawasan suci di Bali, yang tidak diperbolehkan membangun akomodasi pariwisata. Dari sejumlah kasus yang merebak ke permukaan, yang paling menonjol meluasnya pembangunan hotel dan vila di kawasan yang dilarang oleh Perda Nomor 3 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali.
Secara langsung para investor asing melakukan gugatan atas hal tersebut ke MA, dengan harapan akses untuk melanggengkan pembangunan yang super megah tersebut berjalan lancar. Jika para investor behasil memenangkan “permainan” tersebut maka tidak ada harapan untuk Bali lagi berbenah, melihat kondisi alam yang semakin terekploitasi, dimana menjadi pendulang industri pariwisata internasional.
Merujuk Perda Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali, sesungguhnya banyak kawasan yang mesti dilindungi oleh pemerintah bersama masyarakat. Sedikitnya ada tujuh kawasan yang luasnya mencapai 42.554 hektar (7,6 persen) dari luas Pulau Bali yang mesti dilindungi pemerintah bersama masyarakat. Di antaranya kawasan suci, tempat suci, sempadan pantai, sempadan danau, sempadan jurang dan kawasan sekitar mata air seperti sungai dan danau. Kriteria perlindungan pun sudah jelas dalam Perda 3/2005 itu. Kawasan tempat suci sekitar Pura Sad Kahyangan radius yang mesti dilindungi 5.000 meter dari sisi luar panyengker pura. Sementara penetapan sempadan pantai dalam perda ini 100 meter dari daratan sepanjang pesisir dengan lebar proporsional sesuai bentuk dan kondisinya.
Sangat prihatin dan miris rasanya, jika bertutur hal-hal yang “baik” mengenai Bali. Meskipun memang dampak yang dirasakan masyarakat dalam mendenyutkan perekonomian yang hanya mengandalkan alam Bali dan budaya, cukup signifikan dirasakan oleh semua lapisan. Banyak hal pemandangan mewah dan gedung-gedung yang berbasis pariwisata telah kekar terbagun dibibir pantai Bali, pasca kedatangan turis-turis yang sampai sekarang hinggap di Bali dan menjadi seoarang investor. Perannya untuk membangun Bali dimata dunia memang sangat membantu, pangsa pariwisata yang sering didengungkan diluar negeri mengenai Pulau Bali sebagau pulau dewata, tentu memberikan nilai plus tersendiri.
Namun menyimak kiprah investor yang begitu rakus untuk mengubah tatanan lingkungan dan budaya Bali menjadi nuansa ala Barat tentu harus di tentang oleh seluruh komponen masyarakat. Mengingat Bali telah bopeng disana-sini, karena ulah para pemodal tersebut dengan sesuka hati mengekpansi bangunan berupa hotel dan vila, tanpa memperhitungkan kondisi alam Bali saat ini. Keberadaan RTRW harus dipertahankan dan sebagai regulasi yang harus diperkuat, jika menginginkan Bali dan alam yang asri ini tetap terjaga.
Acapkali membingungkan dibenak kita semua, karena masih saja ada terjadi pembiaran pelanggaran atas Perda Tata Ruang Bali khususnya disetiap kebijakan di Kabupaten. Tentunya menginginkan Penghasilan Asli Daerah(PAD) yang maksimal pasca penentuan desentralisasi, dimana daerah berhak mengatur wilayahnya sendiri dari penghasilan dan pengelolaannya, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan selalu menjadi pertentangan dan perdebatan yang luar biasa atas keberadaan investor. Disatu sisi peran Investor yang menamkan modal atau dengan pembanguan hotel maupun Vila pun menjadi pilihan yang cukup strategis untuk meningkatkan PAD, namum disisi lain hal tersebut berdampak buruk pada kelangsungan ekosistem palemahan Bali yang terpuruk.
Rongrongan investor tak seharusnya di lanjutkan. Sudah bayak lahan Bali yang menjadi korban keganasan meraka, Pelanggaran radius kesucian pura di Uluwatu Badung dan Silayukti Padangbai. Kawasan perlindungan mata air danau di sekitar Danau Buyan. Tentunya merupakan beberapa bukti nyata yang telah terjadi, bahwa investor-investor tersebut tak bisa diberikan ampun lagi untuk melanjutkan langkah selanjutnya yang kemungkinan besar akan membunuh karakter alam Bali. Namun itu semua kembali pada Pemimpin daerah masing-masing yang memiliki kebijakan, karena investor “nekad” pun membangun vila tentunya mendapatkan restu dan legalisasi dari dewan setempat.
Jika ini terjadi pada tujuh kabupaten di Bali, jangan harap pesona alam Bali akan tetap indah dan metaksu. Tentunya menjadi komitmen awal dan keras pemerintah untuk merevitalisasi kekuatan hukum RTRW. Hentikan negoisasi, jika ingin menyelamatkan alam Bali sebagai warisa anak cucu di masa depan.